Bicara tentang toleransi, sudah pasti akan banyak pandangan yang bermunculan. Setiap orang pasti memiliki pandangannya masing-masing dengan semua statement yang menguatkan tentunya. Dalam beberapa kejadian belakangan ini misalnya, banyak gejolak yang timbul karena adanya sikap non-toleran bagi beberapa orang. Terlalu sensitif memang jika berbicara hal ini dan mungkin akan timbul banyak cibiran. Saya tidak akan membahas masalah kemarin yang menjadi headline di hampir semua media, saya lebih tertarik membahas sikap toleransi beragama bukan pada kasus tersebut.
Lima bulan yang lalu saya berkesempatan untuk menyapa kawasan Timur Indonesia yang eksotis dan penuh cerita. Papua barat merupakan lokasi yang saya sambangi selama kurang lebih lima bulan. Saya tinggal di kawasan Manokwari Selatan, sebuah kabupaten pemekaran baru dari Ibu kota provinsi Papua Barat yaitu Manokwari. Mayoritas penduduk Manokwari selatan menganut agama Kristen sedangkan agama lain yang juga berkembang disana adalah Islam. Ya, Islam disana memang masih menjadi minoritas. Jumlah rumah ibadah saja masih terbatas dan dapat dihitung dengan jari. Berbanding terbalik dengan jumlah gereja yang berjejer sepanjang jalan. Tapi hal tersebut tidak menjadi masalah disana, masyarakat muslim disana hidup berdampingan dengan damai dengan warga sekitar. Salah satu contohnya ketika kami mengikuti upacara penyambutan, petugas pembaca doa merupakan seorang ustadz yang mengelola sebuah Masjid yang terletak di pusat kota kabupaten ini. Padahal, sebagian besar peserta upacara tersebut merupakan nasrani, bahkan pemimpin disana juga nasrani. Mereka tetap mendengarkan doa dengan khidmat. Sikap seperti itulah yang dapat di contoh oleh kita semua sebenarnya.
Pada kesempatan berikutnya, saya mendapat kesempatan untuk bertemu dan berbincang hangat dengan salah satu pejabat daerah di komisi dua. Ketika saya berkunjung ke rumah beliau, saya langsung beranggapan bahwa beliau adalah nasrani karena di dalam rumahnya masih tertata rapi hiasan natal seperti pohon natal, mistletoe, boneka santa dan berbagi pernak-pernik khas natal lainnya. Saya dan teman saya saat itu duduk di teras depan rumahnya karena pemandangannya yang sejuk. Setelah berbincang cukup panjang ternyata bapak ini merupakan seorang muslim dan dalam waktu dekat ini sedang merencanakan untuk menunaikan ibadah haji. Saya kaget karena di dalam rumahnya terpajang Salib di dekat deretan foto keluarganya. Ternyata keluarga bapak ini berpegang pada filosofi “Satu tungku, tiga batu” sebuah filosofi tentang keseimbangan solidaritas antar umat beragama. Tungku disini di ibaratkan sebuah keluarga dan tiga batu sebagai penyangganya yang terdiri dari tiga agama yang berkembang disana yaitu Islam, Kristen dan Protestan.
Paham ini memang bukan hal yang baru di Papua barat, wilayah yang juga menganut paham ini adalah Sorong, Fak-fak, dan Kaimana. Untuk di Manokwari Selatan sendiri masih sangat jarang ada keluarga yang seperti ini. Menurut beliau, sampai saat ini tidak pernah ada konflik antar umat beragama di kawasan ini. Konflik yang biasa terjadi ialah antar keluarga karena terjadi hal seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan berhubungan dengan kriminalitas. Bapak ini Beragama Islam, sedangkan Istrinya Kristen, dan adiknya Protestan. Setiap kali ada kegitatan keagamaan mereka saling mendukung satu sama lain dan tidak pernah timbul masalah apapun. Beliau menambahkan jumlah masjid yang jumlahnya tidak sebanyak gereja memang disesuaikan dengan jemaat yang ada, jika terlalu banyak Masjid yang ada tetapi jumlah jemaat justru sedikit maka akan mubazir karena tidak digunakan lebih baik digunakan untuk beramal. Jika jemaat bertambah tentu pembangunan tempat ibadah akan di perbanyak. Saya belajar banyak dari beliau tentang toleransi, saya percaya Tuhan itu satu dan Tuhan adalah milik semua umat. Tidak ada yang berbeda, kecuali cara kita dan dengan media apa kita berkomunikasi denganNya. Saya senang berbincang dengan beliau, saya berharap suatu saat saya akan bertemu lagi dengan beliau di lain kesempatan.